Wednesday, August 29, 2012

Awatara (Sanskerta : अवतार, avatāra)

Seorang Awatara adalah seorang inkarnasi Tuhan. Ketika Tuhan turun ke bumi dalam suatu bentuk hidup apapun, maka
kita menyebut itu Awatara.

APAKAH TUJUAN DARI AWATARA ITU?

Dalam Bagawad Gita ditulis, "Bilamana ada kerusakan dharma (kebenaran) dan kejayaan Adharma (ketidak-benaran),
aku datang ke dunia untuk melindungi kebaikan, untuk menghancurkan kejahatan dan menegakkan kembali Dharma.
Aku lahir dari zaman ke zaman."

Sepuluh Awatara / utusan Tuhan sebagai pemelihara alam yaitu :

 Matsya Awatara yaitu Hyang Widhi turun kedunia sebagai Ikan yang besar yang menyelamatkan manusia pertama dari tenggelam saat dunia dilanda banjir yang maha besar.
Dalam kitab Matsyapurana diceritakan, pada suatu hari, saat Raja Satyabrata (yang lebih dikenal sebagai Waiwaswata Manu) mencuci tangan di sungai, seekor ikan kecil menghampiri tangannya dan sang raja tahu bahwa ikan itu meminta perlindungan. Akhirnya beliau memelihara ikan tersebut. Ia menyiapkan kolam kecil sebagai tempat tinggal ikan tersebut. Namun lambat laun ikan tersebut bertambah besar, hampir memenuhi seluruh kolam. Akhirnya beliau memindahkan ikan tersebut ke kolam yang lebih besar. Kejadian tersebut terus terjadi berulang-ulang sampai akhirnya beliau sadar bahwa ikan yang ia pelihara bukanlah ikan biasa.

Akhirnya melalui upacara, diketahuilah bahwa ikan tersebut merupakan penjelmaan Dewa Wisnu. Ikan itu sendiri menyampaikan kabar bahwa di bumi akan terjadi bencana air bah yang sangat hebat selama tujuh hari. Ikan itu berpesan agar sang raja membuat sebuah bahtera besar untuk menyelamatkan diri dari banjir besar, dan mengisi bahtera tersebut dengan berbagai makhluk hidup yang setiap jenisnya berjumlah sepasang (betina dan jantan), serta membawa obat-obatan, makanan, dan bibit segala macam tumbuhan. Ikan tersebut juga menambahkan bahwa setelah banjir besar tiba, diharapkan agar Saptaresi (tujuh nabi) dibawa serta dan bahtera tersebut diikat ke tanduk sang ikan dengan naga Basuki sebagai talinya. Setelah menyampaikan seluruh pesan, ikan ajaib tersebut menghilang.
Seratus tahun kemudian, kekeringan yang hebat melanda bumi. Banyak makhluk yang mati kelaparan. Kemudian, langit dipenuhi oleh tujuh macam awan yang dengan hebatnya mencurahkan hujan lebat. Dengan cepat, air yang dicurahkan menutupi daratan di bumi. Oleh karena Waiwaswata Manu sudah membuat bahtera sesuai dengan petunjuk yang disampaikan awatara Wisnu, maka ia beserta pengikutnya selamat dari bencana.

Kurma Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai kura-kura besar yang menumpu dunia agar selamat dari bahaya terbenam saat pemutaran Gunung Mandara di Lautan Susu (Kesire Arnawa) oleh para Dewa untuk mencari Tirta Amertha (Air suci kehidupan)
Kisah tentang Kurma Awatara muncul dari kisah pemutaran Mandaragiri yang terdapat dalam Kitab Adiparwa.
Pemutaran Mandaragiri
Dikisahkan pada zaman Satyayuga, para Dewa dan asura (rakshasa) bersidang di puncak gunung Mahameru untuk mencari cara mendapatkan tirta amerta, yaitu air suci yang dapat membuat hidup menjadi abadi. Sang Hyang Nārāyana (Wisnu) bersabda, "Kalau kalian menghendaki tirta amerta tersebut, aduklah lautan Ksera (Kserasagara), sebab dalam lautan tersebut terdapat tirta amerta. Maka dari itu, kerjakanlah!"
Setelah mendengar perintah Sang Hyang Nārāyana, berangkatlah para Dewa dan asura pergi ke laut Ksera. Terdapat sebuah gunung bernama Gunung Mandara (Mandaragiri) di Sangka Dwipa (Pulau Sangka), tingginya sebelas ribu yojana. Gunung tersebut dicabut oleh Sang Anantabhoga beserta segala isinya. Setelah mendapat izin dari Dewa Samudera, gunung Mandara dijatuhkan di laut Ksira sebagai tongkat pengaduk lautan tersebut. Seekor kura-kura (kurma) raksasa bernama Akupa yang konon katanya sebagai penjelmaan Wisnu, menjadi dasar pangkal gunung tersebut. Ia disuruh menahan gunung Mandara supaya tidak tenggelam.
Naga Basuki dipergunakan sebagai tali, membelit lereng gunung tersebut. Dewa Indra menduduki puncaknya, suapaya gunung tersebut tidak melambung ke atas. Setelah siap, para Dewa, rakshasa dan asura mulai memutar gunung Mandara dengan menggunakan Naga Basuki sebagai tali. Para Dewa memegang ekornya sedangkan para asura dan rakshasa memegang kepalanya. Mereka berjuang dengan hebatnya demi mendapatkan tirta amerta sehingga laut bergemuruh. Gunung Mandara menyala, Naga Basuki menyemburkan bisa membuat pihak asura dan rakshasa kepanasan. Lalu Dewa Indra memanggil awan mendung yang kemudian mengguyur para asura dan rakshasa. Lemak segala binatang di gunung Mandara beserta minyak kayu hutannya membuat lautan Ksira mengental, pemutaran Gunung Mandara pun makin diperhebat.

Alhasil dari pemutaran Gunung Mandara Giri itu muncullah berbagai dewa-dewi, binatang, dan harta karun seperti : Sura (Dewi yang menciptakan minuman anggur), Apsara (kaum bidadari kahyangan),  Kostub (permata yang paling berharga di dunia), Uccaihsrawa (kuda para Dewa), Kalpawreksa (pohon yang dapat mengabulkan keinginan), Kamadhenu (sapi pertama dan ibu dari segala sapi), Airawata (kendaraan Dewa Indra), Laksmi (Dewi keberuntungan dan kemakmuran) dan terakhir keluarlah Dhanwantari membawa kendi berisi tirta amerta. Karena para Dewa sudah banyak mendapat bagian sementara para asura dan rakshasa tidak mendapat bagian sedikit pun, maka para asura dan rakshasa ingin agar tirta amerta menjadi milik mereka. Akhirnya tirta amerta berada di pihak para asura dan rakshasa dan Gunung Mandara dikembalikan ke tempat asalnya, Sangka Dwipa. 
Singkat cerita terjadilah perebutan tirta amerta antara para asura dan rakshasa dan dimenangkan oleh pihak asura dan tirtha amerta berada di tangan para dewa. Para Dewa kemudian terbang ke Wisnuloka, kediaman Dewa Wisnu, dan di sana mereka meminum tirta amerta sehingga hidup abadi. Seorang rakshasa yang merupakan anak Sang Wipracitti dengan Sang Singhika mengetahui hal itu, kemudian ia mengubah wujudnya menjadi Dewa dan turut serta meminum tirta amerta. Hal tersebut diketahui oleh Dewa Aditya dan Chandra, yang kemudian melaporkannya kepada Dewa Wisnu. Dewa Wisnu kemudian mengeluarkan senjata chakranya dan memenggal leher sang rakshasa, tepat ketika tirta amerta sudah mencapai tenggorokannya. Badan sang rakshasa mati, namun kepalanya masih hidup karena tirta amerta sudah menyentuh tenggorokannya. Sang rakshasa marah kepada Dewa Aditya dan Chandra, dan bersumpah akan memakan mereka pada pertengahan bulan.

 
Waraha Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai Badak Agung yang mengait dunia kembali agar selamat dari bahaya tenggelam. Menurut mitologi Hindu, pada zaman Satyayuga (zaman kebenaran), ada seorang raksasa bernama Hiranyaksa, adik raksasa Hiranyakasipu. Keduanya merupakan kaum Detya (raksasa). Hiranyaksa hendak menenggelamkan Pertiwi (planet bumi) ke dalam "lautan kosmik," suatu tempat antah berantah di ruang angkasa.
Melihat dunia akan mengalami kiamat, Wisnu menjelma menjadi babi hutan yang memiliki dua taring panjang mencuat dengan tujuan menopang bumi yang dijatuhkan oleh Hiranyaksa. Usaha penyelamatan yang dilakukan Waraha tidak berlangsung lancar karena dihadang oleh Hiranyaksa. Maka terjadilah pertempuran sengit antara raksasa Hiranyaksa melawan Dewa Wisnu. Konon pertarungan ini terjadi ribuan tahun yang lalu dan memakan waktu ribuan tahun pula. Pada akhirnya, Dewa Wisnu yang menang.
Setelah Beliau memenangkan pertarungan, Beliau mengangkat bumi yang bulat seperti bola dengan dua taringnya yang panjang mencuat, dari lautan kosmik, dan meletakkan kembali bumi pada orbitnya. Setelah itu, Dewa Wisnu menikahi Dewi Pertiwi dalam wujud awatara tersebut.
Waraha Awatara dilukiskan sebagai babi hutan yang membawa planet bumi dengan kedua taringnya dan meletakkannya di atas hidung, di depan mata. Kadangkala dilukiskan sebagai manusia berkepala babi hutan, dengan dua taring menyangga bola dunia, bertangan empat, masing-masing membawa: cakra, terompet dari kulit kerang (sangkakala), teratai, dan gada.


Nara Simbha Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai manusia berkepala singa (Simbha/Sima) yang membasmi kekejaman Raja Hyrania Kasipu yang sangat lalim dan menindas Adharma
Menurut kitab Purana, pada menjelang akhir zaman Satyayuga (zaman kebenaran), seorang raja asura (raksasa) yang bernama Hiranyakasipu membenci segala sesuatu yang berhubungan dengan Wisnu, dan dia tidak senang apabila di kerajaannya ada orang yang memuja Wisnu. Sebab bertahun-tahun yang lalu, adiknya yang bernama Hiranyaksa dibunuh oleh Waraha, awatara Wisnu.
Agar menjadi sakti, ia melakukan tapa yang sangat berat, dan hanya memusatkan pikirannya pada Dewa Brahma. Setelah Brahma berkenan untuk muncul dan mengabulkannya. Narasinga datang untuk menyelamatkan Prahlada dari amukan ayahnya, sekaligus membunuh Hiranyakasipu. Namun, atas anugerah dari Brahma, Hiranyakasipu tidak bisa mati apabila tidak dibunuh pada waktu, tempat dan kondisi yang tepat. Agar berkah dari Dewa Brahma tidak berlaku, ia memilih wujud sebagai manusia berkepala singa untuk membunuh Hiranyakasipu. Ia juga memilih waktu dan tempat yang tepat. Akhirnya, berkah dari Dewa Brahma tidak berlaku. Narasinga berhasil merobek-robek perut Hiranyakasipu. Akhirnya Hiranyakasipu berhasil dibunuh oleh Narasinga, karena ia dibunuh bukan oleh manusia, binatang, atau dewa. Ia dibunuh bukan pada saat pagi, siang, atau malam, tapi senja hari. Ia dibunuh bukan di luar atau di dalam rumah. Ia dibunuh bukan di darat, air, api, atau udara, tapi di pangkuan Narasinga. Ia dibunuh bukan dengan senjata, melainkan dengan kuku.
Makna dari cerita
• Narasinga memberi contoh bahwa Tuhan itu ada dimana-mana
• Rasa bakti yang tulus dari Prahlada menunjukkan bahwa sikap seseorang bukan ditentukan dari golongannya, ataupun bukan karena berasal dari keturunan yang jelek, melainkan dari sifatnya. Meskipun Prahlada seorang keturunan Asura, namun ia juga seorang penyembah Wisnu yang taat.
Membunuh Hiranyakasipu dengan mengambil wujud sebagai Narasinga merupakan salah satu cara menghukum yang paling sadis dari Dewa Wisnu. Di India, Narasinga sangat terkenal. Dalam festival tradisional India, kisah ini berhubungan dengan perayaan Holi, salah satu perayaan terpenting di India. Dari sinilah Narasimha menjadi terkenal. Di India Selatan, Narasinga sering dituangkan ke dalam bentuk seni pahatan dan lukisan. Narasinga merupakan awatara yang paling terkenal setelah Rama dan Kresna.

Wamana Awatara yaitu Hyang Widhi turun kedunia sebagai orang kerdil berpengetahuan tinggi dan mulia dalam mengalahkan Maha Raja Bali yang sombong dan ingin menguasai dunia serta menginjak-injak Dharma.
Dalam agama Hindu, Wamana (Devanagari: वामन ; Vāmana) adalah awatara Wisnu yang kelima, turun pada masa Tretayuga, sebagai putra Aditi dan Kasyapa, seorang Brahmana. Ia (Wisnu) turun ke dunia guna menegakkan kebenaran dan memberi pelajaran kepada raja Bali (Mahabali), seorang Asura, cucu dari Prahlada. Raja Bali telah merebut surga dari kekuasaan Dewa Indra, karena itu Wisnu turun tangan dan menjelma ke dunia, memberi hukuman pada Raja Bali. Wamana awatara dilukiskan sebagai Brahmana dengan raga anak kecil yang membawa payung. Wamana Awatara merupakan penjelmaan pertama Dewa Wisnu yang mengambil bentuk manusia lengkap, meskipun berwujud Brahmana mungil. Wamana kadang-kadang dikenal juga dengan sebutan "Upendra."
Kisah Wamana Awatara dimuat dalam kitab Bhagawatapurana. Menurut cerita dalam kitab, Wamana sebagai Brahmana cilik datang ke istana Raja Bali karena pada saat itu Raja Bali mengundang seluruh Brahmana untuk diberikan hadiah. Ia sudah dinasehati oleh Sukracarya agar tidak memberikan hadiah apapun kepada Brahmana yang aneh dan lain daripada biasanya. Pada waktu pemberian hadiah, seorang Brahmana kecil muncul di antara Brahmana-Brahmana yang sudah tua-tua. Brahmana tersebut juga akan diberi hadiah oleh Bali.
Brahmana kecil itu meminta tanah seluas tiga jengkal yang diukur dengan langkah kakinya. Raja Bali pun takabur dan melupakan nasihat Sukracarya. Ia menyuruh Brahmana kecil itu melangkah.
Pada waktu itu juga, Brahmana tersebut membesar dan terus membesar. Dengan ukurannya yang sangat besar, ia mampu melangkah di surga dan bumi sekaligus. Pada langkah yang pertama, ia menginjak surga. Pada langkah yang kedua, ia menginjak bumi. Pada langkah yang ketiga, karena tidak ada lahan untuknya berpijak, maka Bali menyerahkan kepalanya. Sejak itu, tamatlah kekuasaan Bali. Karena terkesan dengan kedermawanan Bali, Wamana memberinya gelar Mahabali. Ia juga berjanji bahwa kelak Bali akan menjadi Indra pada Manwantara berikutnya.


Paracu Rama Awatara yaitu Hyang Widhi turun kedunia sebagai Rama Parasu yaitu Rama bersenjatakan Kapak yang membasmi para ksatrya yang menyeleweng dari ajaran Dharma. Rama pun terkenal dengan julukan Parasurama karena selalu membawa kapak sebagai senjatanya. Selain itu, Parasurama juga memiliki senjata lain berupa busur panah yang besar luar biasa. Lukisan Parasurama yang sedang memotong seribu lengan Raja Arjuna
Pada zaman kehidupan Parasurama, ketenteraman dunia dikacaukan oleh ulah kaum kesatria yang gemar berperang satu sama lain. Parasurama pun bangkit menumpas mereka, yang seharusnya berperan sebagai pelindung kaum lemah. Tidak terhitung banyaknya kesatria, baik itu raja ataupun pangeran, yang tewas terkena kapak dan panah milik Rama putra Jamadagni. Konon Parasurama bertekad untuk menumpas habis seluruh kesatria dari muka bumi. Ia bahkan dikisahkan telah mengelilingi dunia sampai tiga kali. Setelah merasa cukup, Parasurama pun mengadakan upacara pengorbanan suci di suatu tempat bernama Samantapancaka. Kelak pada zaman berikutnya, tempat tersebut terkenal dengan nama Kurukshetra.


Rama Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai Sang Rama putra raja Dasa Rata dari Ayodya untuk menghanncurkan kejahatan dan kelaliman yang ditimbulkan oleh Raksasa Rahwana dari negara Alengka. Dalam agama Hindu, Rama (Sanskerta: राम; Rāma) atau Ramacandra (Sansekerta: रामचन्द्र; Rāmacandra) adalah seorang raja legendaris yang terkenal dari India yang konon hidup pada zaman Tretayuga, keturunan Dinasti Surya atau Suryawangsa. Ia berasal dari Kerajaan Kosala yang beribukota Ayodhya. Menurut pandangan Hindu, ia merupakan awatara Dewa Wisnu yang ketujuh yang turun ke bumi pada zaman Tretayuga. Sosok dan kisah kepahlawanannya yang terkenal dituturkan dalam sebuah sastra Hindu Kuno yang disebut Ramayana, tersebar dari Asia Selatan sampai Asia Tenggara. Terlahir sebagai putera sulung dari pasangan Raja Dasarata dengan Kosalya, ia dipandang sebagai Maryada Purushottama, yang artinya "Manusia Sempurna". Setelah dewasa, Rama memenangkan sayembara dan beristerikan Dewi Sita, inkarnasi dari Dewi Laksmi. Rama memiliki anak kembar, yaitu Kusa dan Lawa.
Asal-usul nama "Rama"
Rāmá dalam kitab Regweda dan Atharwaweda adalah kata sifat yang berarti "gelap, hitam", atau kata benda yang berarti "kegelapan", bentuk feminim dari kata sifat tersebut adalah rāmī. Dalam Wisnu sahasranama, Rama adalah nama lain Wisnu yang ke-394. Dalam interpretasi dari komentar Adi Sankara, yang diterjemahkan oleh Swami Tapasyananda dari Misi Ramakrishna, Rama memiliki dua pengertian: 1) Brahman yang maha kuasa yang menganugerahkan para yogi; 2) Ia (Wisnu) yang meninggalkan kahyangan untuk menitis kepada Rama, putera Dasarata.

Ayah Rama adalah Raja Dasarata dari Ayodhya, sedangkan ibunya adalah Kosalya. Dalam Ramayana diceritakan bahwa Raja Dasarata yang merindukan putera mengadakan upacara bagi para dewa, upacara yang disebut Putrakama Yadnya. Upacaranya diterima oleh para Dewa dan utusan mereka memberikan sebuah air suci agar diminum oleh setiap permaisurinya. Atas anugerah tersebut, ketiga permaisuri Raja Dasarata melahirkan putera. Yang tertua bernama Rama, lahir dari Kosalya. Yang kedua adalah Bharata, lahir dari Kekayi, dan yang terakhir adalah Laksmana dan Satrugna, lahir dari Sumitra. Keempat pangeran tersebut tumbuh menjadi putera yang gagah-gagah dan terampil memainkan senjata di bawah bimbingan Resi Wasista

Cerita hidup Rama tertuang dalam epos Ramayana yang merupakan salah satu bagian dari Itihasa yang diyakini oleh umat hindu dan merupakan sebuah epos yang menginspirasi masyarakat secara luas. Banyak terkandung nilai-nilai luhur yang tersirat dalam cerita tersebut. Ada baiknya kita menonton atau setidaknya membaca kisah ini.


Krisna Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai Sri Krisna raja Dwarawati untuk membasmi raja Kangsa, Jarasanda dan membantu Pandawa untuk menegakkan keadilan dengan membasmi Kurawa yang menginjak-injak Dharma..
Kresna atau Krishna (Dewanagari: कृष्ण; dilafalkan kṛṣṇa menurut IAST; dilafalkan 'kɹ̩ʂ.nə dalam bahasa Sanskerta) adalah salah satu Dewa yang banyak dipuja oleh umat Hindu karena dianggap merupakan aspek dari Brahman.[1] Ia disebut pula Nārāyana, yaitu sebutan yang merujuk kepada perwujudan Dewa Wisnu yang berlengan empat di Waikuntha. Ia biasanya digambarkan sebagai sosok pengembala muda yang memainkan seruling (seperti misalnya dalam Bhagawatapurana) atau pangeran muda yang memberikan tuntunan filosofis (seperti dalam Bhagawadgita). Dalam Agama Hindu pada umumnya, Kresna dipuja sebagai awatara Wisnu yang kedelapan, dan dianggap sebagai Dewa yang paling hebat dalam perguruan Waisnawa. Dalam tradisi Gaudiya Waisnawa, Kresna dipuja sebagai sumber dari segala awatara (termasuk Wisnu).[2]
Menurut kitab Mahabharata, Kresna berasal dari Kerajaan Surasena, namun kemudian ia mendirikan kerajaan sendiri yang diberi nama Dwaraka. Dalam wiracarita Mahabharata, ia dikenal sebagai tokoh raja yang bijaksana, sakti, dan berwibawa. Dalam kitab Bhagawadgita, ia adalah perantara kepribadian Brahman yang menjabarkan ajaran kebenaran mutlak (dharma) kepada Arjuna. Ia mampu menampakkan secercah kemahakuasaan Tuhan yang hanya disaksikan oleh tiga orang pada waktu perang keluarga Bharata akan berlangsung. Ketiga orang tersebut adalah Arjuna, Sanjaya, dan Byasa. Namun Sanjaya dan Byasa tidak melihat secara langsung, melainkan melalui mata batin mereka yang menyaksikan perang Bharatayuddha.
Asal usul nama "Krishna"
Dalam bahasa Sanskerta, kata Krishna berarti "hitam" atau "gelap", dan kata ini umum digunakan untuk menunjukkan pada orang yang berkulit gelap. Dalam Brahma Samhita dijabarkan bahwa Krishna memiliki warna kulit gelap bersemu biru langit.[3] Dan umumnya divisualkan berkulit gelap atau biru pekat. Sebagai Contoh, di Kuil Jaganatha, di Puri, Orissa, India (nama Jaganatha, adalah nama yang ditujukan bagi Kresna sebagai penguasa jagat raya) di gambarkan memiliki kulit gelap berdampingan dengan saudaranya Baladewa dan Subadra yang berkulit cerah.
Kehidupan Sang Kresna
Ikthisar kehidupan Sri Kresna di bawah ini diambil dari Mahabharata, Hariwangsa, Bhagawatapurana, dan Wisnupurana. Lokasi dimana Kresna diceritakan adalah India Utara, yang mana sekarang merupakan wilayah negara bagian Uttar Pradesh, Bihar, Haryana, Delhi, dan Gujarat. Kutipan pada permulaan dan akhir cerita merupakan teologi yang tergantung pada sudut pandang cerita.
Penitisan
Kutipan di bawah ini menjelaskan alasan mengapa Wisnu menjelma. Dalam sebuah kalimat dalam Bhagawatapurana:
“ Dewa Brahma memberitahu para Dewa: Sebelum kami menyampaikan permohonan kepada Beliau, Beliau sudah sadar terhadap kesengsaraan di muka bumi. Maka dari itu, selama Beliau turun ke bumi demi menuntaskan kewajiban dengan memakai kekuatan-Nya sendiri sebagai sang waktu, wahai kalian para Dewa semuanya akan mendapat bagian untuk menjelma sebagai para putera dan cucu dari keluarga Wangsa Yadu.
Kitab Mahabharata yang pertama (Adiparwa, bagian Adiwansawatarana) memberikan alasan yang serupa, meskipun dengan perbedaan yang kecil dalam bagian-bagiannya.
Kelahiran
Kepercayaan tradisional yang berdasarkan data-data dalam sastra dan perhitungan astronomi mengatakan bahwa Sri Kresna lahir pada tanggal 19 Juli tahun 3228 SM.[5]
Kresna berasal dari keluarga bangsawan di Mathura, dan merupakan putera kedelapan yang lahir dari puteri Dewaki, dan suaminya Basudewa. Mathura adalah ibukota dari wangsa yang memiliki hubungan dekat seperti Wresni, Andhaka, dan Bhoja. Mereka biasanya dikenali sebagai Yadawa karena nenek moyang mereka adalah Yadu, dan kadang-kadang dikenal sebagai Surasena setelah adanya leluhur terkemuka yang lain. Basudewa dan Dewaki termasuk ke dalam wangsa tersebut. Raja Kamsa, kakak Dewaki, mewarisi tahta setelah menjebloskan ayahnya ke penjara, yaitu Raja Ugrasena. Karena takut terhadap ramalan yang mengatakan bahwa ia akan mati di tangan salah satu putera Dewaki, maka ia menjebloskan pasangan tersebut ke penjara dan berencana akan membunuh semua putera Dewaki yang baru lahir. Setelah enam putera pertamanya terbunuh, dan Dewaki kehilangan putera ketujuhnya, lahirlah Kresna. Karena hidupnya terancam bahaya maka ia diselundupkan keluar dan dirawat oleh orangtua tiri bernama Yasoda dan Nanda di Gokula, Mahavana. Dua anaknya yang lain juga selamat yaitu, Baladewa alias Balarama (putera ketujuh Dewaki, dipindahkan ke janin Rohini, istri pertama Basudewa) dan Subadra (putera dari Basudewa dan Rohini yang lahir setelah Baladewa dan Kresna).
Tempat yang dipercaya oleh para pemujanya untuk memperingati hari kelahiran Kresna kini dikenal sebagai Krishnajanmabhumi, dimana sebuah kuil didirikan untuk memberi penghormatan kepadanya.

Menurut beberapa sastra, Kresna memiliki 16.108 istri, delapan orang di antaranya merupakan istri terkemuka, termasuk di antaranya Radha, Rukmini, Satyabama, dan Jambawati. Sebelumnya 16.000 istri Kresna yang lain ditawan oleh Narakasura, sampai akhirnya Kresna membunuh Narakasura dan membebaskan mereka semua. Menurut adat yang keras pada waktu itu, seluruh wanita tawanan tidak layak untuk menikah sebagaimana mereka masih di bawah kekuasaan Narakasura, namun Kresna dengan gembira menyambut mereka sebagai puteri bangsawan di kerajaannya. Dalam tradisi Waisnawa, para istri Kresna di Dwarka dipercaya sebagai penitisan dari berbagai wujud Dewi Laksmi.
Bharatayuddha dan Bhagawad Gita
Kresna merupakan saudara sepupu dari kedua belah pihak dalam perang antara Pandawa dan Korawa. Ia menawarkan mereka untuk memilih pasukannya atau dirinya. Para Korawa mengambil pasukannya sedangkan dirinya bersama para Pandawa. Ia pun sudi untuk menjadi kusir kereta Arjuna dalam pertempuran akbar. Bhagawadgita merupakan wejangan yang diberikan kepada Arjuna oleh Kresna sebelum pertempuran dimulai.

Kehidupan di kemudian hari
Setelah perang, Kresna tinggal di Dwaraka selama 36 tahun. Kemudian pada suatu perayaan, pertempuran meletus di antara para kesatria Wangsa Yadawa yang saling memusnahkan satu sama lain. Lalu kakak Kresna – Baladewa – melepaskan raga dengan cara melakukan Yoga. Kresna berhenti menjadi raja kemudian pergi ke hutan dan duduk di bawah pohon melakukan meditasi. Seorang pemburu yang keliru melihat sebagian kaki Kresna seperti rusa kemudian menembakkan panahnya dan menyebabkan Kresna mencapai keabadian. Menurut Mahabharata, kematian Kresna disebabkan oleh kutukan Gandari. Kemarahannya setelah menyaksikan kematian putera-puteranya menyebabkannya mengucapkan kutukan, karena Kresna tidak mampu menghentikan peperangan. Setelah mendengar kutukan tersebut, Kresna tersenyum dan menerima itu semua, dan menjelaskan bahwa kewajibannya adalah bertempur di pihak yang benar, bukan mencegah peperangan.
Menurut referensi dari Bhagawatapurana dan Bhagawad Gita, ditafsirkan bahwa Kresna wafat sekitar tahun 3100 SM.[6] Ini berdasarkan deskripsi bahwa Kresna meninggalkan Dwarka 36 tahun setelah peperangan dalam Mahabharata terjadi. Matsyapurana mengatakan bahwa Kresna berusia 89 tahun saat perang berkecamuk. Setelah itu Pandawa memerintah selama 36 tahun, dan pemerintahan mereka terjadi saat permulaan zaman Kaliyuga. Selanjutnya dikatakan bahwa Kaliyuga dimulai saat Duryodana dijatuhkan ke tanah oleh Bima berarti tahun 2007 sama dengan tahun 5108 (atau semacam itu) semenjak Kaliyuga.[7]
Hubungan keluarga
Ayah Kresna adalah Prabu Basudewa, yang merupakan saudara lelaki (kakak) dari Kunti atau Partha, istri Pandu yang merupakan ibu para Pandawa, sehingga Kresna bersaudara sepupu dengan para Pandawa. Saudara misan Kresna yang lain bernama Sisupala, putera dari Srutadewa alias Srutasrawas, adik Basudewa. Sisupala merupakan musuh bebuyutan Kresna yang kemudian dibunuh pada saat upacara akbar yang diselenggarakan Yudistira.



Budha Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai putra raja Sododana di Kapilawastu India dengan nama Sidharta Gautama yang berarti telah mencapai kesadaran yang sempurna. Budha Gautama menyebarkan ajaran Budha dengan tujuan untuk menuntun umat manusia mencapai kesadaran, penerangan yang sempurna atau Nirwana.
Dalam agama Hindu, Gautama Buddha muncul dalam kitab Purana (Susastra Hindu) sebagai Awatara kesembilan dari Dasa awatara Dewa Wisnu. Dalam Bhagavata Purana, beliau disebut sebagai Awatara kedua puluh empat dari dua puluh lima awatara Wisnu. Kata Buddha berarti "Dia yang mendapat pencerahan". Buddha Awatara terlahir sebagai putera mahkota Raja Suddhodana di sebuah kerajaan Hindu bernama Kapilawastu di India Utara (sekarang merupakan wilayah kerajaan Nepal) dengan nama Siddharta Gautama yang berarti "Dia yang mencapai segala hasratnya".
Namun ajaran Siddhartha Gautama tidak menekankan keberadaan "Tuhan sang Pencipta" [1] dan konsekuenskinya, agama Buddha termasuk bagian dari salah satu mazhab nāstika (heterodoks, harafiah "Itu tidak ada") menurut mazhab-mazhab agama Dharma lainnya, seperti Dvaita. Namun beberapa mazhab lainnya, seperti Advaita, sangat mirip dengan ajaran Buddhisme, baik bentuk maupun filsafatnya.[2]
Menurut kepercayaan Hindu populer, pada zaman Kaliyuga, masyarakat menjadi bodoh akan nilai-nilai rohani dan kehidupan. Ada suatu kepercayaan bahwa pada kedatangan Sang Buddha, banyak brahmana di India yang menyalahgunakan upacara Weda demi kepuasan nafsunya sendiri, dan melakukan pengorbanan binatang yang sia-sia dan tiada berguna. Maka dari itu, Buddha muncul sebagai seorang awatara untuk memulihkan keseimbangan.
Gautama Buddha lahir sebagai Pangeran Siddhartha Gautama, putra Raja Suddhodana, sekitar abad ketujuh sebelum Masehi (2400 tahun yang lalu). Ayahnya sangat menginginkan dia menjadi Maharaja Dunia, namun pikirannya dibayang-bayangi oleh ramalan petapa Kondanna yang mengatakan bahwa anaknya akan menjadi Buddha karena melihat empat hal: orang sakit, orang tua, orang mati, dan Pertapa Suci atau Pertapa. Keempat hal tersebut selalu berusaha ditutupi olah ayahnya. Ia tidak akan membiarkan sesuatu yang bersifat sakit, tua, mati, dan pertapa suci dilihat oleh Siddharta.
Namun Siddharta memang sudah ditakdirkan untuk menjadi Buddha. Ramalan pertapa Kondanna menjadi kenyataan. Keinginan Siddharta untuk menjadi Buddha terlintas ketika ia melihat empat hal tersebut. Keempat hal tersebut pula yang membuka pikirannya untuk mencari obat penawarnya. Akhirnya ia memutuskan untuk menjadi pertapa dan berkeliling mencari pertapa-pertapa terkenal dan mengikuti ajarannya, namun semuanya tidak membuat Siddharta puas. Akhirnya ia menemukan pencerahan ketika bertapa di bawah pohon Bodhi di Bodh Gaya pada malam Purnama Sidhi bulan Waisak.




Kalki Awatara yaitu penjelmaan Hyang Widhi yang terakhir yang akan turun untuk membasmi penghinaan-penghinaan, pertentangan-pertentangan agama akibat penyelewengan umat manusia dari ajaran Hyang Widhi (Dharma). Menurut keyakinan umat Hindu, awatara terakhir akan turun apabila memuncaknya pertentangan-pertentangan agama di dunia ini.
Dalam ajaran Agama Hindu, Kalki (Sansekerta: कल्कि; Jepang: カルキ) (juga disalin sebagai Kalkin dan Kalaki) adalah awatara kesepuluh dan Maha Avatāra (inkarnasi) terakhir Dewa Wisnu Sang pemelihara, yang akan datang pada akhir zaman Kali Yuga ini (zaman kegelapan dan kehancuran).
Kata Kalki seringkali merupakan suatu kiasan dari “keabadian” atau “masa”. Asal mula nama tersebut diperkirakan berasal dari kata Kalka yang bermakna “kotor”, “busuk”, atau “jahat” dan oleh karena itu "Kalki" berarti “Penghancur kejahatan”, “Penghancur kekacauan”, "Penghancur kegelapan", atau “Sang Pembasmi Kebodohan”. Dalam bahasa Hindi, kalki avatar berarti “inkarnasi hari esok”.
Berbagai tradisi memiliki berbagai kepercayaan dan pemikiran mengenai kapan, bagaimana, di mana, dan mengapa Kalki Awatara muncul. Penggambaran yang umum mengenai Kalki Awatara yaitu beliau adalah Awatara yang mengendarai kuda putih (beberapa sumber mengatakan nama kudanya “Devadatta” (anugerah Dewa) dan dilukiskan sebagai kuda bersayap). Kalki memiliki pedang berkilat yang digunakan untuk memusnahkan kejahatan dan menghancurkan iblis Kali, kemudian menegakkan kembali Dharma dan memulai zaman yang baru.
Salah satu sumber yang pertama kali menyebutkan istilah Kalki adalah Wisnu Purana, yang diduga muncul setelah masa Kerajaan Gupta sekitar abad ke-7 sebelum Masehi. Wisnu adalah Dewa pemelihara dan pelindung, salah satu bagian Trimurti, dan merupakan penengah yang mempertimbangkan penciptaan dan kehancuran sesuatu. Kalki juga muncul di salah satu dari 18 kitab Purana yang utama, Agni Purana. Kitab purana yang memuat khusus tentang Kalki adalah Kalki Purana. Di sana dibahas kapan, dimana, bagaimana, dan mengapa Kalki muncul

2 comments:

  1. Apakah awatra yang turun ke dunia hanya berjumlah 10 (dasa awatara) ?

    ReplyDelete
  2. Dasa Awatara yang telah dipaparkan sebelumnya adalah Awatara Wisnu yang populer dan telah dipublikasikan secara luas di banyak buku. Sembilan dari sepuluh Awatara tersebut telah muncul di masing-masing jaman, hanya satu yang belum tampil karena menunggu waktu yang tepat.

    Namun kalo berbicara masalah populer, tentunya ada yang lainnya. Menurut purana-purana yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Weda, jumlah awatara yang ada tidak terhitung jumlahnya. Dalam Bagawatapurana secara spesifik menyebutkan setidaknya ada empat puluh awatara, antara lain Catursana (Caturkumara), Waraha, Narada, Nara dan Narayana, Kapila, Dattreya, Yadnya, Resaba, Pertu, Matsya, Kumara dan masih banyak lagi.

    Satu hal yang perlu kita bersama yakini. Salah satu kitab suci kita Bhagawadgita (Pancama Weda) menyebutkan :
    Dalam Bhagawadgita, salah satu kitab suci agama Hindu selain Weda, Kresna sebagai perantara Tuhan Yang Maha Esa bersabda:
    “ Yadā yadā hi dharmasya glānir bhavati bhārata abhyutthānam adharmasya tadātmanam srjāmy aham paritrānāya sādhūnām vināśāya ca duskrtām dharma samsthāpanarthāya sambavāmi yuge yuge ”

    (Bhagavad-gītā, 4.7-8)

    Arti
    Manakala kebenaran merosot dan kejahatan merajalela,
    pada saat itulah Aku akan turun menjelma ke dunia,
    wahai keturunan Bharata (Arjuna).

    Untuk menyelamatkan orang-orang saleh
    dan membinasakan orang jahat
    dan menegakkan kembali kebenaran,
    Aku sendiri menjelma dari zaman ke zaman.

    ReplyDelete