Seorang Awatara adalah seorang inkarnasi Tuhan. Ketika Tuhan turun ke bumi dalam suatu bentuk hidup apapun, maka
kita menyebut itu Awatara.
APAKAH TUJUAN DARI AWATARA ITU?
Dalam Bagawad Gita ditulis, "Bilamana ada kerusakan dharma (kebenaran) dan kejayaan Adharma (ketidak-benaran),
aku datang ke dunia untuk melindungi kebaikan, untuk menghancurkan kejahatan dan menegakkan kembali Dharma.
Aku lahir dari zaman ke zaman."
Sepuluh Awatara / utusan Tuhan sebagai pemelihara alam yaitu :

Dalam kitab Matsyapurana diceritakan, pada
suatu hari, saat Raja Satyabrata (yang lebih dikenal sebagai Waiwaswata
Manu) mencuci tangan di sungai, seekor ikan kecil menghampiri tangannya
dan sang raja tahu bahwa ikan itu meminta perlindungan. Akhirnya beliau
memelihara ikan tersebut. Ia menyiapkan kolam kecil sebagai tempat
tinggal ikan tersebut. Namun lambat laun ikan tersebut bertambah besar,
hampir memenuhi seluruh kolam. Akhirnya beliau memindahkan ikan tersebut
ke kolam yang lebih besar. Kejadian tersebut terus terjadi
berulang-ulang sampai akhirnya beliau sadar bahwa ikan yang ia pelihara
bukanlah ikan biasa.
Akhirnya melalui upacara, diketahuilah bahwa ikan tersebut merupakan penjelmaan Dewa Wisnu. Ikan itu sendiri menyampaikan kabar bahwa di bumi akan terjadi bencana air bah yang sangat hebat selama tujuh hari. Ikan itu berpesan agar sang raja membuat sebuah bahtera besar untuk menyelamatkan diri dari banjir besar, dan mengisi bahtera tersebut dengan berbagai makhluk hidup yang setiap jenisnya berjumlah sepasang (betina dan jantan), serta membawa obat-obatan, makanan, dan bibit segala macam tumbuhan. Ikan tersebut juga menambahkan bahwa setelah banjir besar tiba, diharapkan agar Saptaresi (tujuh nabi) dibawa serta dan bahtera tersebut diikat ke tanduk sang ikan dengan naga Basuki sebagai talinya. Setelah menyampaikan seluruh pesan, ikan ajaib tersebut menghilang.
Seratus
tahun kemudian, kekeringan yang hebat melanda bumi. Banyak makhluk yang
mati kelaparan. Kemudian, langit dipenuhi oleh tujuh macam awan yang
dengan hebatnya mencurahkan hujan lebat. Dengan cepat, air yang
dicurahkan menutupi daratan di bumi. Oleh karena Waiwaswata Manu sudah
membuat bahtera sesuai dengan petunjuk yang disampaikan awatara Wisnu,
maka ia beserta pengikutnya selamat dari bencana.
Kurma
Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai kura-kura besar yang menumpu
dunia agar selamat dari bahaya terbenam saat pemutaran Gunung Mandara di
Lautan Susu (Kesire Arnawa) oleh para Dewa untuk mencari Tirta Amertha
(Air suci kehidupan)
Kisah tentang Kurma Awatara muncul dari kisah pemutaran Mandaragiri yang terdapat dalam Kitab Adiparwa.
Pemutaran Mandaragiri
Dikisahkan
pada zaman Satyayuga, para Dewa dan asura (rakshasa) bersidang di
puncak gunung Mahameru untuk mencari cara mendapatkan tirta amerta,
yaitu air suci yang dapat membuat hidup menjadi abadi. Sang Hyang
Nārāyana (Wisnu) bersabda, "Kalau kalian menghendaki tirta amerta
tersebut, aduklah lautan Ksera (Kserasagara), sebab dalam lautan
tersebut terdapat tirta amerta. Maka dari itu, kerjakanlah!"
Setelah
mendengar perintah Sang Hyang Nārāyana, berangkatlah para Dewa dan asura
pergi ke laut Ksera. Terdapat sebuah gunung bernama Gunung Mandara
(Mandaragiri) di Sangka Dwipa (Pulau Sangka), tingginya sebelas ribu
yojana. Gunung tersebut dicabut oleh Sang Anantabhoga beserta segala
isinya. Setelah mendapat izin dari Dewa Samudera, gunung Mandara
dijatuhkan di laut Ksira sebagai tongkat pengaduk lautan tersebut.
Seekor kura-kura (kurma) raksasa bernama Akupa yang konon katanya
sebagai penjelmaan Wisnu, menjadi dasar pangkal gunung tersebut. Ia
disuruh menahan gunung Mandara supaya tidak tenggelam.
Naga Basuki
dipergunakan sebagai tali, membelit lereng gunung tersebut. Dewa Indra
menduduki puncaknya, suapaya gunung tersebut tidak melambung ke atas.
Setelah siap, para Dewa, rakshasa dan asura mulai memutar gunung Mandara
dengan menggunakan Naga Basuki sebagai tali. Para Dewa memegang ekornya
sedangkan para asura dan rakshasa memegang kepalanya. Mereka berjuang
dengan hebatnya demi mendapatkan tirta amerta sehingga laut bergemuruh.
Gunung Mandara menyala, Naga Basuki menyemburkan bisa membuat pihak
asura dan rakshasa kepanasan. Lalu Dewa Indra memanggil awan mendung
yang kemudian mengguyur para asura dan rakshasa. Lemak segala binatang
di gunung Mandara beserta minyak kayu hutannya membuat lautan Ksira
mengental, pemutaran Gunung Mandara pun makin diperhebat.
Alhasil dari pemutaran Gunung Mandara Giri itu muncullah berbagai dewa-dewi,
binatang, dan harta karun seperti : Sura (Dewi yang menciptakan minuman anggur), Apsara (kaum bidadari kahyangan), Kostub (permata yang paling berharga di dunia), Uccaihsrawa (kuda para Dewa), Kalpawreksa (pohon yang dapat mengabulkan keinginan), Kamadhenu (sapi pertama dan ibu dari segala sapi), Airawata (kendaraan Dewa Indra), Laksmi (Dewi keberuntungan dan kemakmuran) dan terakhir
keluarlah Dhanwantari membawa kendi berisi tirta amerta. Karena para
Dewa sudah banyak mendapat bagian sementara para asura dan rakshasa
tidak mendapat bagian sedikit pun, maka para asura dan rakshasa ingin
agar tirta amerta menjadi milik mereka. Akhirnya tirta amerta berada di
pihak para asura dan rakshasa dan Gunung Mandara dikembalikan ke tempat
asalnya, Sangka Dwipa.
Singkat cerita terjadilah perebutan tirta amerta antara para asura dan rakshasa dan dimenangkan oleh pihak asura dan tirtha amerta berada di tangan para dewa. Para
Dewa kemudian terbang ke Wisnuloka, kediaman Dewa Wisnu, dan di sana
mereka meminum tirta amerta sehingga hidup abadi. Seorang rakshasa yang
merupakan anak Sang Wipracitti dengan Sang Singhika mengetahui hal itu,
kemudian ia mengubah wujudnya menjadi Dewa dan turut serta meminum tirta
amerta. Hal tersebut diketahui oleh Dewa Aditya dan Chandra, yang
kemudian melaporkannya kepada Dewa Wisnu. Dewa Wisnu kemudian
mengeluarkan senjata chakranya dan memenggal leher sang rakshasa, tepat
ketika tirta amerta sudah mencapai tenggorokannya. Badan sang rakshasa
mati, namun kepalanya masih hidup karena tirta amerta sudah menyentuh
tenggorokannya. Sang rakshasa marah kepada Dewa Aditya dan Chandra, dan
bersumpah akan memakan mereka pada pertengahan bulan.
Waraha Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai Badak Agung yang mengait dunia kembali agar selamat dari bahaya tenggelam. Menurut
mitologi Hindu, pada zaman Satyayuga (zaman kebenaran), ada seorang
raksasa bernama Hiranyaksa, adik raksasa Hiranyakasipu. Keduanya
merupakan kaum Detya (raksasa). Hiranyaksa hendak menenggelamkan Pertiwi
(planet bumi) ke dalam "lautan kosmik," suatu tempat antah berantah di
ruang angkasa.
Melihat dunia akan mengalami kiamat, Wisnu menjelma
menjadi babi hutan yang memiliki dua taring panjang mencuat dengan
tujuan menopang bumi yang dijatuhkan oleh Hiranyaksa. Usaha penyelamatan
yang dilakukan Waraha tidak berlangsung lancar karena dihadang oleh
Hiranyaksa. Maka terjadilah pertempuran sengit antara raksasa Hiranyaksa
melawan Dewa Wisnu. Konon pertarungan ini terjadi ribuan tahun yang
lalu dan memakan waktu ribuan tahun pula. Pada akhirnya, Dewa Wisnu yang
menang.
Setelah Beliau memenangkan pertarungan, Beliau mengangkat
bumi yang bulat seperti bola dengan dua taringnya yang panjang mencuat,
dari lautan kosmik, dan meletakkan kembali bumi pada orbitnya. Setelah
itu, Dewa Wisnu menikahi Dewi Pertiwi dalam wujud awatara tersebut.
Waraha
Awatara dilukiskan sebagai babi hutan yang membawa planet bumi dengan
kedua taringnya dan meletakkannya di atas hidung, di depan mata.
Kadangkala dilukiskan sebagai manusia berkepala babi hutan, dengan dua
taring menyangga bola dunia, bertangan empat, masing-masing membawa:
cakra, terompet dari kulit kerang (sangkakala), teratai, dan gada.
Nara Simbha Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai manusia berkepala
singa (Simbha/Sima) yang membasmi kekejaman Raja Hyrania Kasipu yang
sangat lalim dan menindas Adharma
Menurut kitab Purana, pada
menjelang akhir zaman Satyayuga (zaman kebenaran), seorang raja asura
(raksasa) yang bernama Hiranyakasipu membenci segala sesuatu yang
berhubungan dengan Wisnu, dan dia tidak senang apabila di kerajaannya
ada orang yang memuja Wisnu. Sebab bertahun-tahun yang lalu, adiknya
yang bernama Hiranyaksa dibunuh oleh Waraha, awatara Wisnu.
Agar
menjadi sakti, ia melakukan tapa yang sangat berat, dan hanya memusatkan
pikirannya pada Dewa Brahma. Setelah Brahma berkenan untuk muncul dan mengabulkannya. Narasinga datang untuk menyelamatkan Prahlada dari amukan
ayahnya, sekaligus membunuh Hiranyakasipu. Namun, atas anugerah dari
Brahma, Hiranyakasipu tidak bisa mati apabila tidak dibunuh pada waktu,
tempat dan kondisi yang tepat. Agar berkah dari Dewa Brahma tidak
berlaku, ia memilih wujud sebagai manusia berkepala singa untuk membunuh
Hiranyakasipu. Ia juga memilih waktu dan tempat yang tepat. Akhirnya,
berkah dari Dewa Brahma tidak berlaku. Narasinga berhasil merobek-robek
perut Hiranyakasipu. Akhirnya Hiranyakasipu berhasil dibunuh oleh
Narasinga, karena ia dibunuh bukan oleh manusia, binatang, atau dewa. Ia
dibunuh bukan pada saat pagi, siang, atau malam, tapi senja hari. Ia
dibunuh bukan di luar atau di dalam rumah. Ia dibunuh bukan di darat,
air, api, atau udara, tapi di pangkuan Narasinga. Ia dibunuh bukan
dengan senjata, melainkan dengan kuku.
Makna dari cerita
• Narasinga memberi contoh bahwa Tuhan itu ada dimana-mana
•
Rasa bakti yang tulus dari Prahlada menunjukkan bahwa sikap seseorang
bukan ditentukan dari golongannya, ataupun bukan karena berasal dari
keturunan yang jelek, melainkan dari sifatnya. Meskipun Prahlada seorang
keturunan Asura, namun ia juga seorang penyembah Wisnu yang taat.
Membunuh
Hiranyakasipu dengan mengambil wujud sebagai Narasinga merupakan salah
satu cara menghukum yang paling sadis dari Dewa Wisnu. Di India,
Narasinga sangat terkenal. Dalam festival tradisional India, kisah ini
berhubungan dengan perayaan Holi, salah satu perayaan terpenting di
India. Dari sinilah Narasimha menjadi terkenal. Di India Selatan,
Narasinga sering dituangkan ke dalam bentuk seni pahatan dan lukisan.
Narasinga merupakan awatara yang paling terkenal setelah Rama dan
Kresna.
Wamana Awatara yaitu Hyang Widhi turun kedunia sebagai
orang kerdil berpengetahuan tinggi dan mulia dalam mengalahkan Maha
Raja Bali yang sombong dan ingin menguasai dunia serta menginjak-injak
Dharma.
Dalam agama Hindu, Wamana (Devanagari: वामन ; Vāmana) adalah
awatara Wisnu yang kelima, turun pada masa Tretayuga, sebagai putra
Aditi dan Kasyapa, seorang Brahmana. Ia (Wisnu) turun ke dunia guna
menegakkan kebenaran dan memberi pelajaran kepada raja Bali (Mahabali),
seorang Asura, cucu dari Prahlada. Raja Bali telah merebut surga dari
kekuasaan Dewa Indra, karena itu Wisnu turun tangan dan menjelma ke
dunia, memberi hukuman pada Raja Bali. Wamana awatara dilukiskan sebagai
Brahmana dengan raga anak kecil yang membawa payung. Wamana Awatara
merupakan penjelmaan pertama Dewa Wisnu yang mengambil bentuk manusia
lengkap, meskipun berwujud Brahmana mungil. Wamana kadang-kadang dikenal
juga dengan sebutan "Upendra."
Kisah Wamana Awatara dimuat dalam
kitab Bhagawatapurana. Menurut cerita dalam kitab, Wamana sebagai
Brahmana cilik datang ke istana Raja Bali karena pada saat itu Raja Bali
mengundang seluruh Brahmana untuk diberikan hadiah. Ia sudah dinasehati
oleh Sukracarya agar tidak memberikan hadiah apapun kepada Brahmana
yang aneh dan lain daripada biasanya. Pada waktu pemberian hadiah,
seorang Brahmana kecil muncul di antara Brahmana-Brahmana yang sudah
tua-tua. Brahmana tersebut juga akan diberi hadiah oleh Bali.
Brahmana
kecil itu meminta tanah seluas tiga jengkal yang diukur dengan langkah
kakinya. Raja Bali pun takabur dan melupakan nasihat Sukracarya. Ia
menyuruh Brahmana kecil itu melangkah.
Pada waktu itu juga, Brahmana
tersebut membesar dan terus membesar. Dengan ukurannya yang sangat
besar, ia mampu melangkah di surga dan bumi sekaligus. Pada langkah yang
pertama, ia menginjak surga. Pada langkah yang kedua, ia menginjak
bumi. Pada langkah yang ketiga, karena tidak ada lahan untuknya
berpijak, maka Bali menyerahkan kepalanya. Sejak itu, tamatlah kekuasaan
Bali. Karena terkesan dengan kedermawanan Bali, Wamana memberinya gelar
Mahabali. Ia juga berjanji bahwa kelak Bali akan menjadi Indra pada
Manwantara berikutnya.
Paracu Rama Awatara yaitu Hyang Widhi
turun kedunia sebagai Rama Parasu yaitu Rama bersenjatakan Kapak yang
membasmi para ksatrya yang menyeleweng dari ajaran Dharma. Rama pun terkenal dengan julukan Parasurama karena
selalu membawa kapak sebagai senjatanya. Selain itu, Parasurama juga
memiliki senjata lain berupa busur panah yang besar luar biasa. Lukisan Parasurama yang sedang memotong seribu lengan Raja Arjuna
Pada zaman kehidupan Parasurama, ketenteraman dunia dikacaukan oleh ulah kaum kesatria yang gemar berperang satu sama lain. Parasurama pun bangkit menumpas
mereka, yang seharusnya berperan sebagai pelindung kaum lemah. Tidak
terhitung banyaknya kesatria, baik itu raja ataupun pangeran, yang tewas
terkena kapak dan panah milik Rama putra Jamadagni. Konon Parasurama
bertekad untuk menumpas habis seluruh kesatria dari muka bumi. Ia bahkan
dikisahkan telah mengelilingi dunia sampai tiga kali. Setelah merasa
cukup, Parasurama pun mengadakan upacara pengorbanan suci di suatu
tempat bernama Samantapancaka. Kelak pada zaman berikutnya, tempat
tersebut terkenal dengan nama Kurukshetra.
Rama Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai Sang Rama putra raja Dasa
Rata dari Ayodya untuk menghanncurkan kejahatan dan kelaliman yang
ditimbulkan oleh Raksasa Rahwana dari negara Alengka. Dalam agama
Hindu, Rama (Sanskerta: राम; Rāma) atau Ramacandra (Sansekerta:
रामचन्द्र; Rāmacandra) adalah seorang raja legendaris yang terkenal dari
India yang konon hidup pada zaman Tretayuga, keturunan Dinasti Surya
atau Suryawangsa. Ia berasal dari Kerajaan Kosala yang beribukota
Ayodhya. Menurut pandangan Hindu, ia merupakan awatara Dewa Wisnu yang
ketujuh yang turun ke bumi pada zaman Tretayuga. Sosok dan kisah
kepahlawanannya yang terkenal dituturkan dalam sebuah sastra Hindu Kuno
yang disebut Ramayana, tersebar dari Asia Selatan sampai Asia Tenggara.
Terlahir sebagai putera sulung dari pasangan Raja Dasarata dengan
Kosalya, ia dipandang sebagai Maryada Purushottama, yang artinya
"Manusia Sempurna". Setelah dewasa, Rama memenangkan sayembara dan
beristerikan Dewi Sita, inkarnasi dari Dewi Laksmi. Rama memiliki anak
kembar, yaitu Kusa dan Lawa.
Asal-usul nama "Rama"
Rāmá dalam
kitab Regweda dan Atharwaweda adalah kata sifat yang berarti "gelap,
hitam", atau kata benda yang berarti "kegelapan", bentuk feminim dari
kata sifat tersebut adalah rāmī. Dalam Wisnu sahasranama, Rama adalah nama lain Wisnu yang
ke-394. Dalam interpretasi dari komentar Adi Sankara, yang diterjemahkan
oleh Swami Tapasyananda dari Misi Ramakrishna, Rama memiliki dua
pengertian: 1) Brahman yang maha kuasa yang menganugerahkan para yogi;
2) Ia (Wisnu) yang meninggalkan kahyangan untuk menitis kepada Rama,
putera Dasarata.
Ayah
Rama adalah Raja Dasarata dari Ayodhya, sedangkan ibunya adalah
Kosalya. Dalam Ramayana diceritakan bahwa Raja Dasarata yang merindukan
putera mengadakan upacara bagi para dewa, upacara yang disebut Putrakama
Yadnya. Upacaranya diterima oleh para Dewa dan utusan mereka memberikan
sebuah air suci agar diminum oleh setiap permaisurinya. Atas anugerah
tersebut, ketiga permaisuri Raja Dasarata melahirkan putera. Yang tertua
bernama Rama, lahir dari Kosalya. Yang kedua adalah Bharata, lahir dari
Kekayi, dan yang terakhir adalah Laksmana dan Satrugna, lahir dari
Sumitra. Keempat pangeran tersebut tumbuh menjadi putera yang
gagah-gagah dan terampil memainkan senjata di bawah bimbingan Resi
Wasista
Cerita hidup Rama tertuang dalam epos Ramayana yang merupakan salah satu bagian dari Itihasa yang diyakini oleh umat hindu dan merupakan sebuah epos yang menginspirasi masyarakat secara luas. Banyak terkandung nilai-nilai luhur yang tersirat dalam cerita tersebut. Ada baiknya kita menonton atau setidaknya membaca kisah ini.
Krisna Awatara yaitu Hyang Widhi turun
sebagai Sri Krisna raja Dwarawati untuk membasmi raja Kangsa, Jarasanda
dan membantu Pandawa untuk menegakkan keadilan dengan membasmi Kurawa
yang menginjak-injak Dharma..
Kresna atau Krishna (Dewanagari: कृष्ण;
dilafalkan kṛṣṇa menurut IAST; dilafalkan 'kɹ̩ʂ.nə dalam bahasa
Sanskerta) adalah salah satu Dewa yang banyak dipuja oleh umat Hindu
karena dianggap merupakan aspek dari Brahman.[1] Ia disebut pula
Nārāyana, yaitu sebutan yang merujuk kepada perwujudan Dewa Wisnu yang
berlengan empat di Waikuntha. Ia biasanya digambarkan sebagai sosok
pengembala muda yang memainkan seruling (seperti misalnya dalam
Bhagawatapurana) atau pangeran muda yang memberikan tuntunan filosofis
(seperti dalam Bhagawadgita). Dalam Agama Hindu pada umumnya, Kresna
dipuja sebagai awatara Wisnu yang kedelapan, dan dianggap sebagai Dewa
yang paling hebat dalam perguruan Waisnawa. Dalam tradisi Gaudiya
Waisnawa, Kresna dipuja sebagai sumber dari segala awatara (termasuk
Wisnu).[2]
Menurut kitab Mahabharata, Kresna berasal dari Kerajaan
Surasena, namun kemudian ia mendirikan kerajaan sendiri yang diberi nama
Dwaraka. Dalam wiracarita Mahabharata, ia dikenal sebagai tokoh raja
yang bijaksana, sakti, dan berwibawa. Dalam kitab Bhagawadgita, ia
adalah perantara kepribadian Brahman yang menjabarkan ajaran kebenaran
mutlak (dharma) kepada Arjuna. Ia mampu menampakkan secercah
kemahakuasaan Tuhan yang hanya disaksikan oleh tiga orang pada waktu
perang keluarga Bharata akan berlangsung. Ketiga orang tersebut adalah
Arjuna, Sanjaya, dan Byasa. Namun Sanjaya dan Byasa tidak melihat secara
langsung, melainkan melalui mata batin mereka yang menyaksikan perang
Bharatayuddha.
Asal usul nama "Krishna"
Dalam bahasa Sanskerta,
kata Krishna berarti "hitam" atau "gelap", dan kata ini umum digunakan
untuk menunjukkan pada orang yang berkulit gelap. Dalam Brahma Samhita
dijabarkan bahwa Krishna memiliki warna kulit gelap bersemu biru
langit.[3] Dan umumnya divisualkan berkulit gelap atau biru pekat.
Sebagai Contoh, di Kuil Jaganatha, di Puri, Orissa, India (nama
Jaganatha, adalah nama yang ditujukan bagi Kresna sebagai penguasa jagat
raya) di gambarkan memiliki kulit gelap berdampingan dengan saudaranya
Baladewa dan Subadra yang berkulit cerah.
Kehidupan Sang Kresna
Ikthisar
kehidupan Sri Kresna di bawah ini diambil dari Mahabharata, Hariwangsa,
Bhagawatapurana, dan Wisnupurana. Lokasi dimana Kresna diceritakan
adalah India Utara, yang mana sekarang merupakan wilayah negara bagian
Uttar Pradesh, Bihar, Haryana, Delhi, dan Gujarat. Kutipan pada
permulaan dan akhir cerita merupakan teologi yang tergantung pada sudut
pandang cerita.
Penitisan
Kutipan di bawah ini menjelaskan alasan mengapa Wisnu menjelma. Dalam sebuah kalimat dalam Bhagawatapurana:
“
Dewa Brahma memberitahu para Dewa: Sebelum kami menyampaikan permohonan
kepada Beliau, Beliau sudah sadar terhadap kesengsaraan di muka bumi.
Maka dari itu, selama Beliau turun ke bumi demi menuntaskan kewajiban
dengan memakai kekuatan-Nya sendiri sebagai sang waktu, wahai kalian
para Dewa semuanya akan mendapat bagian untuk menjelma sebagai para
putera dan cucu dari keluarga Wangsa Yadu.
”
Kitab Mahabharata
yang pertama (Adiparwa, bagian Adiwansawatarana) memberikan alasan yang
serupa, meskipun dengan perbedaan yang kecil dalam bagian-bagiannya.
Kelahiran
Kepercayaan
tradisional yang berdasarkan data-data dalam sastra dan perhitungan
astronomi mengatakan bahwa Sri Kresna lahir pada tanggal 19 Juli tahun
3228 SM.[5]
Kresna berasal dari keluarga bangsawan di Mathura, dan
merupakan putera kedelapan yang lahir dari puteri Dewaki, dan suaminya
Basudewa. Mathura adalah ibukota dari wangsa yang memiliki hubungan
dekat seperti Wresni, Andhaka, dan Bhoja. Mereka biasanya dikenali
sebagai Yadawa karena nenek moyang mereka adalah Yadu, dan kadang-kadang
dikenal sebagai Surasena setelah adanya leluhur terkemuka yang lain.
Basudewa dan Dewaki termasuk ke dalam wangsa tersebut. Raja Kamsa, kakak
Dewaki, mewarisi tahta setelah menjebloskan ayahnya ke penjara, yaitu
Raja Ugrasena. Karena takut terhadap ramalan yang mengatakan bahwa ia
akan mati di tangan salah satu putera Dewaki, maka ia menjebloskan
pasangan tersebut ke penjara dan berencana akan membunuh semua putera
Dewaki yang baru lahir. Setelah enam putera pertamanya terbunuh, dan
Dewaki kehilangan putera ketujuhnya, lahirlah Kresna. Karena hidupnya
terancam bahaya maka ia diselundupkan keluar dan dirawat oleh orangtua
tiri bernama Yasoda dan Nanda di Gokula, Mahavana. Dua anaknya yang lain
juga selamat yaitu, Baladewa alias Balarama (putera ketujuh Dewaki,
dipindahkan ke janin Rohini, istri pertama Basudewa) dan Subadra (putera
dari Basudewa dan Rohini yang lahir setelah Baladewa dan Kresna).
Tempat
yang dipercaya oleh para pemujanya untuk memperingati hari kelahiran
Kresna kini dikenal sebagai Krishnajanmabhumi, dimana sebuah kuil
didirikan untuk memberi penghormatan kepadanya.
Menurut
beberapa sastra, Kresna memiliki 16.108 istri, delapan orang di
antaranya merupakan istri terkemuka, termasuk di antaranya Radha,
Rukmini, Satyabama, dan Jambawati. Sebelumnya 16.000 istri Kresna yang
lain ditawan oleh Narakasura, sampai akhirnya Kresna membunuh Narakasura
dan membebaskan mereka semua. Menurut adat yang keras pada waktu itu,
seluruh wanita tawanan tidak layak untuk menikah sebagaimana mereka
masih di bawah kekuasaan Narakasura, namun Kresna dengan gembira
menyambut mereka sebagai puteri bangsawan di kerajaannya. Dalam tradisi
Waisnawa, para istri Kresna di Dwarka dipercaya sebagai penitisan dari
berbagai wujud Dewi Laksmi.
Bharatayuddha dan Bhagawad Gita
Kresna
merupakan saudara sepupu dari kedua belah pihak dalam perang antara
Pandawa dan Korawa. Ia menawarkan mereka untuk memilih pasukannya atau
dirinya. Para Korawa mengambil pasukannya sedangkan dirinya bersama para
Pandawa. Ia pun sudi untuk menjadi kusir kereta Arjuna dalam
pertempuran akbar. Bhagawadgita merupakan wejangan yang diberikan kepada
Arjuna oleh Kresna sebelum pertempuran dimulai.
Kehidupan di kemudian hari
Setelah
perang, Kresna tinggal di Dwaraka selama 36 tahun. Kemudian pada suatu
perayaan, pertempuran meletus di antara para kesatria Wangsa Yadawa yang
saling memusnahkan satu sama lain. Lalu kakak Kresna – Baladewa –
melepaskan raga dengan cara melakukan Yoga. Kresna berhenti menjadi raja
kemudian pergi ke hutan dan duduk di bawah pohon melakukan meditasi.
Seorang pemburu yang keliru melihat sebagian kaki Kresna seperti rusa
kemudian menembakkan panahnya dan menyebabkan Kresna mencapai keabadian.
Menurut Mahabharata, kematian Kresna disebabkan oleh kutukan Gandari.
Kemarahannya setelah menyaksikan kematian putera-puteranya
menyebabkannya mengucapkan kutukan, karena Kresna tidak mampu
menghentikan peperangan. Setelah mendengar kutukan tersebut, Kresna
tersenyum dan menerima itu semua, dan menjelaskan bahwa kewajibannya
adalah bertempur di pihak yang benar, bukan mencegah peperangan.
Menurut
referensi dari Bhagawatapurana dan Bhagawad Gita, ditafsirkan bahwa
Kresna wafat sekitar tahun 3100 SM.[6] Ini berdasarkan deskripsi bahwa
Kresna meninggalkan Dwarka 36 tahun setelah peperangan dalam Mahabharata
terjadi. Matsyapurana mengatakan bahwa Kresna berusia 89 tahun saat
perang berkecamuk. Setelah itu Pandawa memerintah selama 36 tahun, dan
pemerintahan mereka terjadi saat permulaan zaman Kaliyuga. Selanjutnya
dikatakan bahwa Kaliyuga dimulai saat Duryodana dijatuhkan ke tanah oleh
Bima berarti tahun 2007 sama dengan tahun 5108 (atau semacam itu)
semenjak Kaliyuga.[7]
Hubungan keluarga
Ayah Kresna adalah Prabu
Basudewa, yang merupakan saudara lelaki (kakak) dari Kunti atau Partha,
istri Pandu yang merupakan ibu para Pandawa, sehingga Kresna bersaudara
sepupu dengan para Pandawa. Saudara misan Kresna yang lain bernama
Sisupala, putera dari Srutadewa alias Srutasrawas, adik Basudewa.
Sisupala merupakan musuh bebuyutan Kresna yang kemudian dibunuh pada
saat upacara akbar yang diselenggarakan Yudistira.
Budha Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai putra raja Sododana di
Kapilawastu India dengan nama Sidharta Gautama yang berarti telah
mencapai kesadaran yang sempurna. Budha Gautama menyebarkan ajaran Budha
dengan tujuan untuk menuntun umat manusia mencapai kesadaran,
penerangan yang sempurna atau Nirwana.
Dalam agama Hindu, Gautama
Buddha muncul dalam kitab Purana (Susastra Hindu) sebagai Awatara
kesembilan dari Dasa awatara Dewa Wisnu. Dalam Bhagavata Purana, beliau
disebut sebagai Awatara kedua puluh empat dari dua puluh lima awatara
Wisnu. Kata Buddha berarti "Dia yang mendapat pencerahan". Buddha
Awatara terlahir sebagai putera mahkota Raja Suddhodana di sebuah
kerajaan Hindu bernama Kapilawastu di India Utara (sekarang merupakan
wilayah kerajaan Nepal) dengan nama Siddharta Gautama yang berarti "Dia
yang mencapai segala hasratnya".
Namun ajaran Siddhartha Gautama
tidak menekankan keberadaan "Tuhan sang Pencipta" [1] dan
konsekuenskinya, agama Buddha termasuk bagian dari salah satu mazhab
nāstika (heterodoks, harafiah "Itu tidak ada") menurut mazhab-mazhab
agama Dharma lainnya, seperti Dvaita. Namun beberapa mazhab lainnya,
seperti Advaita, sangat mirip dengan ajaran Buddhisme, baik bentuk
maupun filsafatnya.[2]
Menurut kepercayaan Hindu populer, pada zaman
Kaliyuga, masyarakat menjadi bodoh akan nilai-nilai rohani dan
kehidupan. Ada suatu kepercayaan bahwa pada kedatangan Sang Buddha,
banyak brahmana di India yang menyalahgunakan upacara Weda demi kepuasan
nafsunya sendiri, dan melakukan pengorbanan binatang yang sia-sia dan
tiada berguna. Maka dari itu, Buddha muncul sebagai seorang awatara
untuk memulihkan keseimbangan.
Gautama Buddha lahir sebagai Pangeran
Siddhartha Gautama, putra Raja Suddhodana, sekitar abad ketujuh sebelum
Masehi (2400 tahun yang lalu). Ayahnya sangat menginginkan dia menjadi
Maharaja Dunia, namun pikirannya dibayang-bayangi oleh ramalan petapa
Kondanna yang mengatakan bahwa anaknya akan menjadi Buddha karena
melihat empat hal: orang sakit, orang tua, orang mati, dan Pertapa Suci
atau Pertapa. Keempat hal tersebut selalu berusaha ditutupi olah
ayahnya. Ia tidak akan membiarkan sesuatu yang bersifat sakit, tua,
mati, dan pertapa suci dilihat oleh Siddharta.
Namun Siddharta memang
sudah ditakdirkan untuk menjadi Buddha. Ramalan pertapa Kondanna
menjadi kenyataan. Keinginan Siddharta untuk menjadi Buddha terlintas
ketika ia melihat empat hal tersebut. Keempat hal tersebut pula yang
membuka pikirannya untuk mencari obat penawarnya. Akhirnya ia memutuskan
untuk menjadi pertapa dan berkeliling mencari pertapa-pertapa terkenal
dan mengikuti ajarannya, namun semuanya tidak membuat Siddharta puas.
Akhirnya ia menemukan pencerahan ketika bertapa di bawah pohon Bodhi di
Bodh Gaya pada malam Purnama Sidhi bulan Waisak.
Kalki Awatara yaitu
penjelmaan Hyang Widhi yang terakhir yang akan turun untuk membasmi
penghinaan-penghinaan, pertentangan-pertentangan agama akibat
penyelewengan umat manusia dari ajaran Hyang Widhi (Dharma). Menurut
keyakinan umat Hindu, awatara terakhir akan turun apabila memuncaknya
pertentangan-pertentangan agama di dunia ini.
Dalam ajaran Agama
Hindu, Kalki (Sansekerta: कल्कि; Jepang: カルキ) (juga disalin sebagai
Kalkin dan Kalaki) adalah awatara kesepuluh dan Maha Avatāra (inkarnasi)
terakhir Dewa Wisnu Sang pemelihara, yang akan datang pada akhir zaman
Kali Yuga ini (zaman kegelapan dan kehancuran).
Kata Kalki seringkali
merupakan suatu kiasan dari “keabadian” atau “masa”. Asal mula nama
tersebut diperkirakan berasal dari kata Kalka yang bermakna “kotor”,
“busuk”, atau “jahat” dan oleh karena itu "Kalki" berarti “Penghancur
kejahatan”, “Penghancur kekacauan”, "Penghancur kegelapan", atau “Sang
Pembasmi Kebodohan”. Dalam bahasa Hindi, kalki avatar berarti “inkarnasi
hari esok”.
Berbagai tradisi memiliki berbagai kepercayaan dan
pemikiran mengenai kapan, bagaimana, di mana, dan mengapa Kalki Awatara
muncul. Penggambaran yang umum mengenai Kalki Awatara yaitu beliau
adalah Awatara yang mengendarai kuda putih (beberapa sumber mengatakan
nama kudanya “Devadatta” (anugerah Dewa) dan dilukiskan sebagai kuda
bersayap). Kalki memiliki pedang berkilat yang digunakan untuk
memusnahkan kejahatan dan menghancurkan iblis Kali, kemudian menegakkan
kembali Dharma dan memulai zaman yang baru.
Salah satu sumber yang
pertama kali menyebutkan istilah Kalki adalah Wisnu Purana, yang diduga
muncul setelah masa Kerajaan Gupta sekitar abad ke-7 sebelum Masehi.
Wisnu adalah Dewa pemelihara dan pelindung, salah satu bagian Trimurti,
dan merupakan penengah yang mempertimbangkan penciptaan dan kehancuran
sesuatu. Kalki juga muncul di salah satu dari 18 kitab Purana yang
utama, Agni Purana. Kitab purana yang memuat khusus tentang Kalki adalah
Kalki Purana. Di sana dibahas kapan, dimana, bagaimana, dan mengapa
Kalki muncul
Apakah awatra yang turun ke dunia hanya berjumlah 10 (dasa awatara) ?
ReplyDeleteDasa Awatara yang telah dipaparkan sebelumnya adalah Awatara Wisnu yang populer dan telah dipublikasikan secara luas di banyak buku. Sembilan dari sepuluh Awatara tersebut telah muncul di masing-masing jaman, hanya satu yang belum tampil karena menunggu waktu yang tepat.
ReplyDeleteNamun kalo berbicara masalah populer, tentunya ada yang lainnya. Menurut purana-purana yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Weda, jumlah awatara yang ada tidak terhitung jumlahnya. Dalam Bagawatapurana secara spesifik menyebutkan setidaknya ada empat puluh awatara, antara lain Catursana (Caturkumara), Waraha, Narada, Nara dan Narayana, Kapila, Dattreya, Yadnya, Resaba, Pertu, Matsya, Kumara dan masih banyak lagi.
Satu hal yang perlu kita bersama yakini. Salah satu kitab suci kita Bhagawadgita (Pancama Weda) menyebutkan :
Dalam Bhagawadgita, salah satu kitab suci agama Hindu selain Weda, Kresna sebagai perantara Tuhan Yang Maha Esa bersabda:
“ Yadā yadā hi dharmasya glānir bhavati bhārata abhyutthānam adharmasya tadātmanam srjāmy aham paritrānāya sādhūnām vināśāya ca duskrtām dharma samsthāpanarthāya sambavāmi yuge yuge ”
(Bhagavad-gītā, 4.7-8)
Arti
Manakala kebenaran merosot dan kejahatan merajalela,
pada saat itulah Aku akan turun menjelma ke dunia,
wahai keturunan Bharata (Arjuna).
Untuk menyelamatkan orang-orang saleh
dan membinasakan orang jahat
dan menegakkan kembali kebenaran,
Aku sendiri menjelma dari zaman ke zaman.